14.43 | Author: Ahmed
Mulanya dia aku anggap sebagaimana wanita lainnya, tak ada yang istimewa darinya, berjilbab sebagaimana jilbab kebanyakan mahasiswi di kampusku; segitiga kecil atau lebih lumrah kami menyebutnya dengan jilbab taplak meja -maaf tersungging boleh, tersinggung jangan-. Dia angkatan satu tingkat di bawahku, juniorku. Waktu itu masih padat-padatnya jadwal kuliah membuat kami sering bertemu, eh maksudnya aku dan dia dan teman-teman lain biasa kuliah bareng gitu –maklum, kita kan kuliah di universitas sekuler, so mau ndak mau laki-laki nyampur dengan wanita-. Sekali lagi tak ada yang istimewa semua berjalan biasa-biasa saja.

Sebelum lanjut. Aku bukan pengamat wanita bahkan paling anti bila berurusan dengan wanita, makanya aku selalu menghindar untuk satu kelompok praktikum atau diskusi dengan makhluk yang namanya cewek. Bukan karena aku egois atau tidak suka cewek, tapi tidak lain karena sejak masuk kuliah aku sering ikut kajian Islam bahkan sudah aktif di lembaga da`wah level fakultas so sedikit banyak aku sudah tahu aturan pergaulan antara laki-laki dan wanita dalam Islam. Lanjut cerita, perhatianku padanya menjadi lain ketika aku tahu dia mulai ikut tarbiyah bahkan ikut dalam kegiatan lembaga da`wah di fakultas. Dalam penilaianku sebagai lelaki dia naik satu derajat dari yang lainnya. Ada getar indah yang muncul dari lubuk hati dan tidak bisa aku ungkapkan bahkan lewat tulisan ini, tapi anda mungkin bisa menebak.

Waktu berjalan, sampailah saatnya aku harus keluar untuk mengikuti program KKN, ada perasaan berat untuk meninggalkan kota ini terlebih jika mengingatnya. Duh, jangan-jangan... jangan sampai dia.... Berkecamuk dalam batin. Ya Allah aku titipkan dia padamu! Dan waktu memang tetap berjalan, setelah dua bulan akupun kembali ke kota ini.

Dia lebih dulu menelponku menanyakan kabarku dan menanyakan kenapa aku tidak ke kostnya. Akupun bertanya, Untuk apa? Dengan polos ia bertanya, apakah saya tidak rindu? Yah, aku memang rindu dan rinduku tak bertepuk sebelah tangan. Suatu malam tidak biasanya aku terima sms darinya, dia curhat! MasyaAllah! Baru kali aku terima sms ‘semesra’ itu. Dia menyatakan kesungguhannya untuk hijrah, dia ingin memakai jilbab besar sebagaimana kebanyakan akhwaat lain tapi dia tidak punya uang dan dia minta solusi dari saya, tanpa pikir panjang aku membalas smsnya dan menyatakan siap menanggung biayanya. Terus terang saat ini sudah lama aku tunggu, meski harus berkorban tapi ndak apa-apa, atas nama CINTA uang tidak akan menjadi masalah. Malam itu aku sangat bersyukur, ya Allah inikah jawaban atas do`aku selama ini?

Akhirnya usahaku tidak sia-sia, aku memang sering memberikannya buku, buletin dan majalah-majalah Islam, dan mendorongnyanya untuk tetap tarbiyah. Syukur atas hidayah-Mu ya Allah.

Melihatnya dengan pakaian kebesarannya aku tambah kagum dan hormat kepadanya. Wanita adalah makhluk yang paling aku hormati tapi sekarang kepada dia aku lebih takzim dibanding dahulu, karena sekarang ia bukan lagi wanita biasa.

Hingga saat ini, beribu asa aku gantungkan pada dia, mudah-mudahan dia bisa membantuku dalam berdakwah di keluargaku, membantuku dalam mendidik adik-adikku yang lain. Menjadi mujahidah dakwah dalam keluarga kami. Satu permintaanku kepada Rabbku yang sering aku panjatkan, “Ya Allah pertemukanlah ia dengan lelaki yang Engkau ridhai agamanya dan izinkanlah aku untuk ikut merasakan kebahagiaannya dimana aku mempunyai hak untuk menjadi walinya di hari pernikahannya.”

“Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu, jika engkau hilangkan agama yang ada padamu maka hilang pulalah cintaku padamu.”

Adikku semoga engkau tetap istiqomah di jalan-Nya, kau bukan wanita biasa...
(wimakassar.orq)
Category: | Leave a comment
14.39 | Author: Ahmed
Ia tak mau melewatkan momen berharga itu. Ia segera meraihnya, pada detik-detik menjelang pecahnya perang Uhud. Di tengah suasana yang amat menegangkan; perang yang tinggal berhitung detik, ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera, ia datang ke hadapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam: menyampaikan keinginannya membela Allah dan RasulNya. Ia bershayadat, disaksikan langsung oleh Rasulullah.

Selanjutnya, tanpa menunggu lama, ia turun ke medan laga. Kali ini ia bersama dengan keridhaan Allah dan RasulNya.

Kecamuk perang Uhud, atas ketetapan dan hikmah Allah, akhirnya menyisakan banyak syuhada’. Setelah diperiksa, lelaki ini ternyata salah satunya. Ia menutup hidupnya dalam lembaran sejarah kepahlawan Islam. Meski belum menegakkan shalat sekali pun, tapi Allah mencatatnya penghuni surga. Begitu penjelasan yang diterima sahabat dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam.

Ushairam, begitu orang menjulukinya. Sebenarnya nama lengkapnya, Amr ibn Tsabit al-Asyhaly al-Anshary radhiayallahu ’anhu. Setelah peristiwa Uhud itu, orang-orang Madinah lebih akrab menyebutnya ’sahabat penghuni surga yang belum pernah mendirikan shalat.’

Begitulah Ushairam mengajari kita. Sepotong waktu yang tak terbilang hari, ia manfaatkan mengukir sejarahnya. Sejarah lelaki kafir yang tak menyia-nyiakan hidayah Allah, meski perang sudah di depan mata. Ia tak mau menunda. Ia tak mau menyia-nyiakan momen emas ini.

Seperti itulah momen-momen hidayah itu; nampak dalam berbagai kesempatan dan keadaan.

Setumpuk kenikmatan duniawi yang begitu terasa, adalah bagian dari momen itu. Tapi di sini, di bagian ini, banyak jiwa yang terlambat mengerti dan memahami. Seperti Qarun yang terlambat mengerti dengan hartanya. Karena harta itu justru menjadikan dirinya abai dari peringatan Allah. Atau Fir’aun yang terlambat mengerti dengan kekuasaannya. Mereka enggan menjemput hidayah yang sempat datang menyapa di sepotong waktunya. Lalu keputusan Allah datang kepadanya; pergi meninggalkan dunia dengan membawa segenap laknat Allah dan seluruh makhlukNya.

Tapi musibah, dalam semua wujudnya, biasanya lebih mampu menyadarkan. Meski kadang hanya bertahan beberapa lama.

Dan hari ini.

Ada begitu banyak ‘pesan-pesan akhirat’ yang lebih harus dimengerti dan dipahami agak dalam. Mungkin ia datang pada gelombang dahsyat tsunami yang mengguncang-guncang jiwa. Atau ia, secara tiba-tiba, menghentak-hentak nyawa kehidupan kita dalam sebentuk puting beliung yang memorak-porandakan tempat kita selama ini bernaung. Atau banjir bah yang tak kunjung surut. Atau kemarau yang tidak hanya menyurutkan air, bahkan sekaligus menyurutkan harapan sebagian manusia kepada Rabbnya.

Rentetan fenomena alam yang sering kita anggap biasa, setidaknya di awal peristiwanya, mengirim ‘pesan singkat’ dengan sinyal yang amat kuat: semua itu adalah momen-momen hidayah yang Allah hadirkan di depan mata kita. Seakan ingin mengingatkan kita yang banyak terlupa: saatnya kita kembali ke jalan Allah.

Saatnya kita kembali ke jalan Allah, meski jauh sudah langkah kita menjalani dosa. Ketika hari ini, ada begitu banyak catatan merah kehidupan kita, yang selama ini kita menganggapnya masih dalam koridor kewajaran. Saatnya kita kembali ke jalan Allah, bertaubat atas semua kekhilafan itu. Jika saat ini, ada begitu banyak keharaman-keharaman yang dinilai oleh banyak kepala sebagai prilaku yang sah-sah saja. Saatnya kita kembali, untuk hanya ridha dengan apa yang menjadi keridhaan Allah. Saatnya kita kembali, menjalani hidup di bawah naungan cinta dan keridhaan Allah semata.

Hari ini. Atau bahkan detik ini. Kembali peluang meraih hidayah itu menghampiri kita. Dalam kesendirian, dengan kepenatan badan karena bekerja seharian, di saat-saat merebahkan kepala di atas pembaringan, ketika itu hanya ada sepi, sunyi, dan sesekali terdengar nada merdu suara jangkrik. Itu adalah rangkaian kesempatan menjemput hidayah. Merenung. Memikirkan setiap jenak-jenak langkah kita menapaki kehidupan. Menghayati, seberapa jauhkah kehidupan kita, adalah anak-anak tangga kebaikan yang senantiasa kita jaga kesinambungannya. Sekaligus mengingat-ingat, akan catatan merah kehidupan kita yang mesti dibenahi sesegera mungkin.

Lelaki tadi, Ushairam, adalah fragmen tentang menjemput hidayah tanpa perlu menunda, tentang kebaikan yang disegerakan, sekaligus kesudahan yang baik bagi mereka yang berusaha memperjuangkan agama Allah. Secara berkesinambungan. Sekemampuannya.

Hingga di tapal batas akhir, kita tak boleh lelah untuk saling mengingatkan.

Ada begitu banyak kesempatan yang Allah berikan ke kita. Hanya saja suasana jiwa yang rentan godaan, kadang membiarkannya lewat begitu saja, tanpa sebersit penyesalan yang mengiringi. Ada banyak peluang kita mendekat padaNya, tapi dunia terlalu kuat tarikannya, hingga perjalanan menuju padaNya, kadang diselingi oleh banyak penundaan yang tak perlu. Wallahu waliyut taufiq.(wimakassar.org)
Category: | Leave a comment